Diceritakan. Nana dan Heri adalah sepasang kekasih yang sudah menjalani hubungan pacaran selama 10 tahun lamanya. Namun, akhirnya mereka bisa menikah dan menjalani bahtera rumah tangga sebagaimana orang lainnya.
Tiga tahun pertama, kisah cinta mereka begitu manis apalagi setelah keduanya dikaruniai seorang putra bernama Leo.
Namun, memasuki tahun keempat rumah tangga keduanya mulai terasa agak berat karena dihadapkan dengan masalah mengasuh anak. Namun berbekal rasa cinta, mereka pun bisa melewati masa sulit tersebut.
Hingga beberapa tahun berlalu, Heri berencana ingin memiliki anak lagi. Namun Nana agak menolak, dengan alasan masih ingin mengecek ke dokter perihal kondisinya. Namun kondisi ini terjadi hingga setengah tahun lamanya sampai akhirnya membuat Heri sedikit berpaling dari Nana.
Apalagi di kantornya ada seorang sekretaris baru yang membuat Heri merasa nyaman bernama Jesi. Perlahan Jesi mulai merasuki pikiran dan hidup Heri hingga membuatnya jarang pulang tepat waktu dan tentunya membuat Nana heran.
“Kok akhir-akhir sering pulang telat, Mas?” tanya Nana suatu malam.
“Lembur.” Heri menjawab pendek sambil mengganti pakaiannya.
Heri sebenarnya masih mencintai istrinya namun di sisi lain ia juga semakin dekat dengan Jesi. Ia juga merasa hubungannya dengan Nana mulai membosankan ditambah kesibukan keduanya membuat Heri merasa jarak mereka semakin jauh.
Nana memang lebih pendiam setelah anaknya, Leo, masuk sekolah dan Heri berpikir mungkin hal itu disebabkan karena keperluan anak mereka yang makin banyak. Tapi sebenarnya Nana menyimpan rahasia yang agak dalam dan ia tidak mau suaminya sampai bersedih.
Ia benar-benar sangat menjaga perasaan suaminya.
Sampai suatu malam, lantaran Heri sering pulang malam akhirnya Nana mulai curiga dengan apa yang dilakukan suaminya tersebut di luar rumah.
“Kamu berubah, Mas. Kerja juga nggak mungkin pulang malam terus kan?” ucap Nana.
Heri yang mulai sebal menyahut, “Kamu tanya saja sendiri pada dirimu, kenapa aku jadi nggak betah. Kamu terlalu sibuk dengan karirmu, aku juga bisa kalau begini caranya.”
Heri sebenarnya tidak tega mengucapkan hal itu kepada Nana namun karena emosinya sudah lama tertahan dan kali ini baru ia tumpahkan karena merasa muak pada omelan istrinya sampai akhirnya ia pun menyampaikan keinginannya untuk bercerai.
Tentu saja pernyataan suaminya itu membuat Nana hancur setengah mati. Ia pun menolak perceraian itu karena tidak ingin Leo merasakan keluarga yang retak dan tentu saja perceraian adalah hal yang sangat dibenci Allah. Namun Heri makin menghancurkan hatinya karena menyodorkan surat pengajuan cerai beberapa hari setelah ia menyampaikan keinginannya itu.
Semalaman Nana memandangi surat cerai terhampar di meja kerjanya, sementara Heri tidur dengan tidak nyenyak di ranjangnya. Keesokan paginya, Nana pun menyerahkan surat itu pada Heri dengan mata sembab karena berdoa sambil menangis meminta petunjuk kepada Allah sampai tidak tidur semalaman.
Nana berfikir bahwa tidak ada gunanya ia marah atau pun kecewa, karena tugas seorang istri dalam Islam adalah untuk mentaati suaminya dan mencoba bersabar dengan segala ujian yang diberikannya. Ia sadar betul kalau sesungguhnya Allah-lah yang maha membolak-balikkan hati manusia.
Hingga akhirnya Nana pun berkata kepada suaminya, “Aku akan menandatanganinya setelah 30 hari. Dalam 30 hari itu, aku ingin Mas selalu menggendong aku dari ranjang ke meja makan untuk sarapan setiap pagi. Juga dari ruang keluarga ke kamar tidur setiap malam,” ujar Nana dengan suara setengah serak.
Awalnya Heri merasa agak aneh dengan permintaan istrinya, namun ia tetap menyanggupi permintaan itu. Ia pikir istrinya hanya ingin mengulur waktu cerai dan membuat dirinya kembali.
Begitulah, sesuai janjinya, Heri selalu menggendong Nana setiap pagi dan malam. Ia bisa merasakan Nana lebih bersandar padanya, namun di sisi lain Heri berpikir bahwa Nana mungkin juga sedang menikmati momen-momen akhir bersamanya.
Pemandangan romantis antara Nana dan Heri membuat sang anak kadang bersorak pada kedua orang tuanya, “Wah, papa mama romantis banget,” ujarnya girang.
Hal itu membuat Heri sedikit berbesar hati, namun ia meneguhkan dirinya agar tak mudah terbawa suasana. Sementara Nana hanya tersenyum penuh makna sambil bergelayut di leher suaminya ketika digendong.
Diam-diam, Heri merasa istrinya makin kurus dari hari ke hari dan gendongannya pun semakin terasa ringan. Sesekali Heri memandangi wajah istrinya ketika menggendongnya sembari mengecup keningnya.
Nana nampak terlihat lelah, kantung matanya sering kelihatan membesar dan ia pun sering menyandarkan kepalanya ke dada suaminya tersebut. Hal ini membuat Heri mulai ragu dengan keputusannya bercerai. Ada kehangatan merasuk di dadanya setiap kali menggendong istrinya. Tanpa terasa, Heri mulai merasakan cinta kembali bersemi pada hubungannya dengan Nana. Ia merasa istrinya makin cantik dari hari ke hari, hingga hari-hari penandatanganan surat cerai itu makin dekat.
Sampai akhirnya pada pagi hari ke-31, saat Heri hendak menggendong, Nina menahan tangan suaminya itu.
“Hari ini kan sudah lewat. Kamu nggak perlu gendong aku lagi, Mas.” ucapnya kepada sang suami.
Heri hanya tersenyum dan membawa Nana ke meja makan. Ia menyajikan sarapan lalu mengecup kening Nana, “Sarapan aja, Nana. Selamat pagi.”
Begitulah Nana dan Heri hari itu menghabiskan sarapan mereka dengan lebih hangat dan mesra. Setelah sarapan, Nana pun memberikan surat cerai yang sudah ditandatangani dan dibungkus amplop.
“Ini, Mas. Terima kasih selama ini sudah mencintaiku,” ujarnya sambil menitikkan air mata.
Herman terpana, namun surat itu tetap diterimanya. Sebelum berangkat ke kantor, Heri lalu memeluk Nana.
Di kantor, Heri mengatakan pada Jesi bahwa ia mengurungkan niatnya bercerai. Sekarang yang ada di benaknya adalah Nana. Ia masih ingat dengan bulir air mata Nana yang hangat jatuh di tangannya tadi pagi. Heri merasakan cinta itu dan tak sabar ingin segera pulang. Ia bahkan menyempatkan diri membeli buket bunga paling indah kesukaan Nana dan bergegas pulang sore itu.
Sesampainya di rumah, Heri memanggil-manggil nama istrinya. Namun ia tak juga mendengar jawaban. Hingga ia melihat Nana di kamarnya, tidur dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya tadi pagi. Namun saat Heri mendekatinya, Nana sudah tidak bernyawa lagi. Heri tidak percaya, bagaimana mungkin Nana bisa meninggal? Ia menggoncang-goncang tubuh dan wajah Nana sambil memanggil namanya.
Kepergian Nana menjadi penyesalan yang tak terkira buat Heri. Rupanya selama ini Nana mengidap penyakit parah yang tak sempat disampaikannya pada Heri. Di kala istrinya itu tengah memikirkan sendirian dan berjuang melawan penyakitnya, Heri malah sibuk dengan rencana perceraian mereka.
Nana akhirnya dimakamkan keesokan harinya, diiringi rasa sedih dan duka dari Heri dan putra mereka, Leo.