di salah satu pasar tradisional di Banjarmasin bersama emak. Suasana khas pasar yang ramai, bau ikan semerbak kemana-mana. Di lautan manusia itu aku menangkap pemandangan tak biasa, perhatianku tertarik padanya. Seorang nenek sudah terbungkuk tengah menggelar dagangan. Dia berjualan ikan asin.
Naluri kepo ku keluar. Sepertinya bakal ada kisah menarik dari nenek yang satu ini. Aku pun minta izin ke emak untuk menemui nenek itu. Dua kresek besar ku bawa tergopo-gopo, berjalan perlahan mendekati beliau.
"ikan asin nak. Baru bikin." Si Nenek menyapaku duluan, menyeringai, giginya terlihat sudah banyak yang tanggal. Sapaan awal yang cukup menarik. Pasalnya dia menggunakan bahasa indonesia dengan lancar. Bukan pakai bahasa setempat.
Usai membeli dagangannya, aku pun mencoba menggunakan teknik matching & mirorring demi menjalin komunikasi lebih akrab dengannya. Kaki ku julurkan sebagaimana dia duduk beralas koran. Bumbu-bumpu pendekatanku berhasil. Dari tanya jawab kini ke tahap beliau sudah berani ke tahap curhat. Tak butuh waktu lama untuk bicara enak dengan beliau, karena dari tipe kepribadian memang beliau orang ramah dan suka ngomong.
Namanya nek Sutini. Beliau adalah pensiunan guru SD. Punya tiga anak sudah berkeluarga semua. Punya lima cucu. Suaminya sudah meninggal. Ketika ditanya kenapa masih bekerja keras di usia senja. "Badanku bisa sakit kalau mendekam di rumah. Udah biasa kerja keras." Jawabnya sambil mengunyah sesuatu yang berwarna merah.
Beliau menjual ikan asin ada alasannya. Almarhum suaminya bisa dikatakan juragan ikan asin. Sudah dipasarkan sampai ke luar pulau. "Jualan ini bisa terus mengingatkanku pada suami. Dia orang yang pekerja keras. Meninggal di usia 40 tahun." Ucapnya dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku pun nekat melontarkan pertanyaan agak privasi. "Maaf nek, kenapa dulu nenek gak nikah lagi?" Ucapku sambil menelan ludah berharap beliau tidak tersinggung.
"Aku pernah dengan ceramah ustadz nak, kalau aku gak nikah lagi. Kelak di Surga aku bakal ketemu suamiku. Ini diperkuat saat di akhir hayat, suamiku pernah bilang 'kamu bidadari surgaku, kesayanganku'. Kata-katanya masih terngiang sampai sekarang." Tutur beliau yang tampak sudah tak kuasa menahan desakan embun hangat di kelopak matanya.
Aku berhenti sejenak bertanya. Ada pula rasa bersalah karena membuat beliau jadi sedih. Berulang kali aku minta maaf. Beliau bilang bukan masalah. Setelah kondusif aku pun mendapat beberapa informasi lagi dari beliau.
Ternyata beliau sudah dilarang berjualan berulang kali oleh anak-anaknya. Terlebih anak-anaknya sudah hidup berkecukupan, tetapi beliaunya saja yang ngeyel dan keras kepala dengan alasan yang sulit diterima banyak orang.
Dalam aktivitasnya menjual ikan asin, beliau sering mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-orang. Diremehkan adalah hal biasa baginya. "Nek, jangan jualan di situ. Minggir dikit. Dagangan secuil aja mau nengah-nengah. Itu untuk parkir." Ucap beliau menirukan orang yang mengusirnya.
Ada kejadian menarik ketika bertepatan ada orang lain lagi yang meremehkannya, saat itu anaknya tiba-tiba menjemput. Cewek tinggi semampai itu turun dari mobil Fortuner dan mencium tangan si nenek. Para pedagang sederetan pagar itu hanya menyaksikan, kaget tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Terlebih saat cewek yang tampak bersih dan rapi itu memapah si nenek sambil memikul sekarung besar ikan asin. Dan membukakan pintu mobil untuk si nenek. Cewek itu bukan lain adalah anak bungsunya.
Tak semua yang terlihat adalah kebenaran. Jangan gampang kita menilai orang lain, terlebih merendahkannya. Sebab itulah bentuk kesombongan yang amat dibenci Tuhan. Dan kita tak akan pernah tahu kondisi sebenarnya dari seseorang dengan hanya melihat kulit sekilas saja.
Sekali lagi jangan sampai kita suka meremehkan atau memandang rendah orang lain. Sebab, orang yang suka merendahkan orang lain selain bernilai sombong, sebenarnya dia juga sedang menunjukkan kualitas dirinya rendah.