Aku telah menikah lima tahun dengan Sinyo, tapi belum memiliki rumah. Gajinya 4 juta per bulan. Namun, hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari dan membayar sewa kontrakan.
Dua tahun kemudian, Sinyo mendapat promosi dan naik jabatan. Gajinya kini 20 juta per bulan.
Dia suami yang baik dan bertanggung jawab, serta menyayangiku dan putrinya. Hanya saja memiliki satu kekurangan, dia terlalu menurut pada orang tua dan adiknya.
Bukannya aku tak setuju dengan sikapnya seperti itu, tapi kadang kala apa yang dilakukannya terlalu berlebihan.
Ketika adiknya menikah, sang ibu menyuruh Sinyo memberi hadiah sebesar 40 juta. Bayangkan, 40 juta! Itu bukanlah jumlah yang sedikit.
Saat menikah dengannya, orang tuanya hanya memberi 2 juta rupiah. Sungguh, mengherankan mengapa harus memberi 40 juta pada adiknya?
"Apa ini nggak salah? Itu hadiah pernikahan atau maskawin? Lagipula, Rudi sudah bekerja dan memilki tabungan." Aku berusaha mencegah Sinyo.
Sayangnya, sia sia. Sinyo memberikan uang itu diam-diam.
Saat ketahuan, aku marah besar dan sangat kecewa. Dia benar-benar tak mendengarkanku, bahkan tak jujur padaku.
Saking marah dan kecewanya, sempat terlintas di benakku untuk bercerai, tapi kucoba untuk menahan diri dan memberi Sinyo kesempatan kedua.
Karirnya semakin membaik, dia kembali mendapat kenaikan gaji. Kini, mencapai 30 juta per bulan.
Jika perhitunganku tak meleset, kami bisa membayar uang muka pembelian rumah dengan cicilan tidak lebih dari 7 tahun.
Saat kunyatakan keinginan itu, tiba tiba dia gelagapan dan mencari berbagai macam alasan untuk menundanya.
Tentu saja sikapnya membuatku curiga. Diam diam kuambil buku tabungan Sinyo dan memeriksa isinya.
Aku benar-benar terkejut melihatnya, tak disangka angka yang tertera hanya 20 juta. Dengan jumlah gaji yang dia terima beberapa tahun belakangan ini, mana mungkin nominal hanya sebesar itu.
Ketika Sinyo pulang, aku langsung menyodorkan buku tabungan itu padanya.
Suamiku lalu menjelaskan bahwa adiknya ingin membeli rumah, tapi belum memiliki cukup uang. Orang tuanya lalu menyuruh untuk memberi pinjaman sebesar 400 juta. Aku diam mematung setelah mendengarnya. Bayangkan, 400 juta!
Aku bukannya tak mau dia terlibat dengan masalah keluarga, tapi sebagai istri aku juga memiliki hak darinya.
"Kita cerai saja," ujarku dingin. "Bukankah kau tahu, aku sudah lama ingin punya rumah sendiri. Ketika memiliki uang yang cukup, kau malah membelikan rumah untuk adikmu.
Parahnya, kau mengulangi kesalahan yang sama: memberikannya diam diam tanpa sepengetahuanku.
Apa artinya pernikahan jika tak ada kejujuran, keterbukaan, dan kepercayaan satu sama lain? Apa kau masih menganggapku sebagai istri?
Nampaknya, keluargamu memang lebih penting dariku. Silakan kembali pada keluarga tercintamu. Anggap saja aku tak pernah hadir dalam hidupmu," ketusku berapi-api.
Sinyo mencoba minta maaf dan meredam amarahku. Namun, semuanya terlambat. Hatiku benar benar terluka.
Aku mengemas barang dan pulang ke rumah orang tua dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Entah 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun, atau selamanya.
Mungkin, ini waktu yang tepat bagiku dan Sinyo untuk introspeksi diri. Meski di lubuk hati yang terdalam tak ingin bercerai, tapi jika sikapnya tak berubah, aku tak ragu berpisah dengannya.